Maafkan Aku, Ayah

“Ayah, bolehkah aku meminta
Handphone baru? Itu.. yang touchscreen
kayak punya teman-temanku itu” Tanyaku pada ayahku yang tengah membaca koran.
“Nggak boleh! Kita sekarang
sedang berhemat, buat apa beli barang-barang tidak berguna seperti itu?!”
Teriak ayahku sambil membanting koran yang dibacanya.
“Tapi yah.. soalnya temen..”
“Kita bukan orang kaya, nak!
Pekerjaan ayah hanya buruh! Mana bisa ayah cari uang banyak buat beli ini..
itu!”
Aku langsung terdiam sesaat.
Memang hari ini ibuku yang biasa menenagkan ayahku saat marah sedang pergi
merawat nenek yang sakit. Aku langsung berlalu kecewa. “Bisa gak sih ga usah marah-marah gitu!” batinku
dalam hati. Itu baru satu, sebenarnya masih banyak lagi.Pernah disaat aku ingin
merayakan hari kelulusanku dengan melaksanakan kumpul-kumpul bareng teman
se-angkatanku, namun dilarang orang tua ku karna alasan sudah larut malam.
Tingga akulah satu-satunya anak dalam angkatan kelas sembilan yang tidak hadir
dalam acara itu.
“Ini sudah malam! Ngapain
keluar sekarang!”
“Itu udah rencana kelas, ayah!”
Bantahku spontan
“Sudahlah yah... udah nak,
sekarang tidur aja, dengerin kata ayah..” lerai ibuku.
Sesampainya di kamar aku
langsung membanting pintu kamar, mengambil selembar kertas dan menulis secarik
surat. Inilah awal kesuksesanku dimulai. Aku kabur lewat jendela dengan membawa
beberapa perlengkapan serta jutaan rupiah yang sudah kutabung sejak dulu. Aku
pergi entah kemana, ke luar dunia yang keras. Langkah yang pertama yang kuambil
adalah mencari tempat tinggal. Aku memilih kos-kosan kumuh yang sangat murah.
Lalu, dengan mengandalkan bakatku untuk menulis sebuah novel yang terbaik yang
pernah ada.
Seminggu berlalu, akhirnya
novel tebal karyaku sudah selesai. Dengan modal uang tabungan aku menghubungi
penerbit buku karyaku sebelumnya. Mereka memanggilku ke kantor mereka.
“Selamat datang, silahkan
duduk” sambut seorang karyawan wanita penerbit
bukuku.
“Terimakasih, Nama saya Romeo”
jawabku terbata-bata, gugup.
“Baik, Nama saya Tyara, senang
berkenalan dengan anda”
“Oh.. saya dipanggil ada apa
ya?
“Saya adalah agen penerbit
anda, oh ya! Selamat Romeo, novel anda diterima dan kami siap menerbitkan novel
anda”
"Iya?! YES!
YES!” teriakku seperti orang gila. Semua perhatian tertuju padaku. Seorang
satpam tergopoh-gopoh datang ke arah kami mengira ada kekacauan.
Aku memasang
harga ratusan pada buku novelku. Dan syukurlah, laku keras. Rupiah demi rupiah
mengalir begitu saja ke dalam saku. Dengan giat dan konsisten aku menulis dan
menerbitkan buku lagi. Akhirnya namaku semakin tenar dan tersohor di seruluh
penjuru negeri. Banyak acara talkshow di
televisi yang mengundangku. Aku memiliki rumah dan kembali melanjutkan
pendidikanku dengan uangku sendiri. Aku seperti menjadi orang terkenal karena sering tampil bersama artis-artis
terkenal di layar kaca. Tak terbesit sedikitpun tentang kabar orangtuaku dalam
benakku...
Lima tahun berlalu. Aku sudah menjadi penulis
sekaligus musisi yang dikenal baik oleh masyarakat. Orang tua? Sudahlah, aku
tak mau memikirkan mereka lagi. Aku sudah hidup di rumah mewah yang kutempati
seorang diri bersama para pelayanku. Setiap hari yang aku lakukan hanya menulis
dan mengerjakan tugas kuliahku. Sampai suatu hari datanglah seorang kakek-kakek
ke rumahku. Security rumahku datang
kepadaku untuk melaporkannya padaku.
“Permisi
tuan, ada seorang kakek-kakek mengaku ayah tuan”
“Antar aku
kepadanya!” kata ku spontan saja, kaget mendengarnya.
“Baik tuan,
silahkan ikuti saya”
Aku berjalan
menuju pagar dan menatap kakek yang melongo melihat rumah besar di hadapannya,
dari jauh memang aku sudah mengenalinya. Aku memalingkan wajah dan berkata.
“Aku tidak
menginginkannya di hidupku, tolong usir dia dengan halus” jawabku sambil
berjalan pergi. Kakek itu memanggil-manggil namaku yang tetap saja tak
kuhiraukan.
Kejadian itu
berlalu. Hari demi hari berlalu membuatku melupakan pertemuanku dengan ayahku.
Aku berencana pergi untuk me- refreshing
pikiranku yang jenuh karena tugas kuliah. Aku berencana untuk pergi ke pemandian
air panas VIP yang sudah dipesan oleh pelayanku.
“silahkan
tuan Romeo, mobil sudah siap” sambut peayanku didepan pintu.
“Terimakasih
Larry”jawbku dengan senyuman
.
Mobil melaju
pergi, namun dihadang oleh seorang kakek tua renta yang tidak lain adalah
ayahku. Aku turun dari mobil dan segera menghardiknya.
“Permisi,
saya mencoba lewat di sini!”
“Nak, aku
hanya ingin bilang bahwa ibumu telah meninggal dua minggu yang lalu!” kata-kata
yang membuat lengang suasana selama beberapa menit
.
“Berikan aku
alamat pemakaman ibuku!” jawabku memecah keheningan.
“Baik, tapi
aku ikut ber..”
“Tidak!”
potongku “Dia ibuku, orang yang sangat baik, berbeda denganmu yang jahat dan
kejam!
“Nak, aku
ayahmu! Aku kasar karna aku menyaya..”
“Bohong! Pak
supir, kita kembali ke rumah!”
Aku segera
masuk ke dalam mobil. Mobil melaju dengan cepat. Supirku tidak melihat ada
mobil lain melaju dari arah berlawanan. Kecelakaan tak dapat dihindarkan. Aku
terplanting jauh dari mobil.kondisiku yang mengenaskan membuat banyak orang malah
lari menjauh. Sebesit bayangan kabur kulihat tengah mengagkatku, setelah itu aku langsung tak sadarkan diri...
Aku terbangun
dari koma selama tiga hari. Banyak orang mengerumuniku, dari keluarga ataupun
bukan. Bahkan Tyara ada disampingku.
“Apa yang
terjadi?” tanyaku lemah
“Kamu selamat nak” kata dokter disebelahku. “Jika saja ayahmu tak bersedia memberikan
jantungnya padamu, mungkin saja kau takkan selamat ”
Aku terdiam
sejenak. Aku menyesal telah membencimu,ayah. Kau rela mati demi anakmu yang
selama ini durhaka padamu. Aku menyesal belum pernah membahagiakanmu sekalipun.
Hanya karna egoku sejak kecil yang membuatku tak mengenalmu sebagai orang yang
berjasa yang rela mengorbankan nyawanya demi anaknya. Maafkan aku, Ayah...
fajri raihan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar