Semburat cahaya mentari mengusir langit gelap. Kesibukan
kampung mulai berjalan seperti biasa. Liburan kenaikan kelas telah mencapai
pertengahan. Liburan ini membuatku leluasa untuk bangun lebih siang dari
biasanya. Tapi, pagi ini aku bangun cepat. Mataku terbuka lebih awal, aku duduk
terlebih dahulu untuk mengumpulkan nyawa yang melayang entah kemana. Kusingkap
selimut dan langsung berjalan menuju kebawah. Suara derit kayu dari tangga yang
diinjak adalah suara yang pertama kali kudengar. kulihat mamak dan Bapak sudah
menunggu di bawah.
“Pagi pak,Mak,” sapaku pada mereka yang sedang asik makan.
“Pagi Lia, sudah sikat gigi?”
“Belum, Abang mana?” tanyaku heran, biasanya abang ikut
sarapan bersama di pagi hari.
“Kuliah dia, indak libur"
Aku ber-oh pelan. Berjalan ke kamar mandi untuk sikat gigi. Setelah itu aku bergabung ke meja makan, memulai percakapan hangat.
Aku ber-oh pelan. Berjalan ke kamar mandi untuk sikat gigi. Setelah itu aku bergabung ke meja makan, memulai percakapan hangat.
“Bapak kerja?”
“Iya, Banyak mobil yang komplain, ayah harus turun tangan
ini,” kata ayahku.
“Itulah ayahmu nak, baru jadi pemilik bengkel saja sudah
stress,” mamak tertawa, membuatnya terbatuk.
“Ish, bengkel besar tu, jangan macam-macam,” kata bapak tak
terima
“Kalau Lia ingin jadi apa?” Tanya mamakku, mengabaikan bapak
yang masih mendengus kesal.
“Dokter ma, tapi gak tau mau kuliah dimana”
“Kuliah dokter juga mahal, dari mana kita dapat piti,” kata bapaku.
“Hus, ada yang namanya beasiswa, kayak bang ihsan tu loh pa,”
jawab mamak
“Harus pinter itu mak, Lia gak pinter,” kataku pelan.
“Beh, omong kosong, mana ada anak bapak yang tolol? Nanti
bapak carikan itu universii..univer..”
“Universitas,pak,” lanjut mamakku sebal
“iya, itu pokoknya,”lanjut bapakku sebal.
Awalnya kukira itu takkan terjadi, tapi ternyata bapak
sungguh-sungguh. Dua hari setelahnya bapak dapat kabar bahwa universitas
terkenal di kota mengadakan penerimaan beasiswa. Aku langsung di daftarkan oleh
bapakku. Ujiannya dua hari lagi! Malam itu juga aku belajar ditemani lentera
minyak yang kadang redup. Tapi tak masalah, sinar bulan bersinar lebih terang
seakan mendukungku. Tak lupa ia menebarkan lebih banyak bintang yang menerangi
gelapnya malam.
Dua hari pun berlalu. Ujian dimulai tepat pukul 9 pagi. Tak
mkusangka, mudah sekali soal ujiannya. Tanganku gesit menari mencoreng dan
menulis jawaban sempurna. Setelah itu aku keluar ruangan lebih awal lima belas
menit dengan perasaan lega. Tak sabar kutunggu hasilnya seminggu lagi.
Seminggu berlalu cepat.
Namaku terpampang jelas, berada di urutan nomor satu. Aku bersorak karena masuk dengan nilai tertinggi. Demi melihatnya Bapak bahkan salah memeluk orang, memubuatnya mengomel.
Aku mengambil juruan kedokteran. Susah sekali, tapi mamak
pernah bilang; tekun belajar, berdoa, dan berjuang adalah kunci kesuksesan. Aku
sekarang tinggal di asrama. Aku sekamar dengan nomor urut dua, Aisyah. Ia menemaniku setiap hari. Kami selalu saling
bantu jika ada tugas. Kuliah ini terasa cepat sekali. 6 tahun kulompati
setahun, begitu juga dengan Aisyah. Kami membuat skripsi bersama. Hingga tepat
penghujung semester dua belas, sidang skripsi kami berjalan lancar, lulus
dengan memuaskan. Dua minggu kemudian wisuda. Pertama kali kulihat bapak dan
mamak menangis, bukan menangis sedih, tapi terharu. Aku memeluk Aisyah, ia akan
pergi ke Aceh. Aku senang sekali
Hari itu berlalu. Malam hari, aku menerima kabar bahwa lamaran
kerjaku sebagai dokter di rumah sakit ternama di Jakarta diterima. Berarti
besok malam aku harus meninggalkan kampung. Hari itu datang dengan cepat. Mamak
dan bapak memelukku dan aku mencium
tangan mereka sebelum berangkat. Aku
masuk ke dalam mobi sambil melambaikan tangan. Mobil yang kutumpangi berjalan menjauhi desa.
Kulihat langit malam di atas sana, bulan tampak bersinar bangga bersama ratusan
bintang yang selalu bersinar di sekitarnya.
fajri raihan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar