Salam Pembaca!

Semoga dengan blog ini, membantu anda membuka referensi, inspirasi, illustrasi atas setiap keadaan dan perencanaan serta membantu memberi sekat atas setiap problema. Terimakasih

Fajri Raihan (Uda Ihan)

Jumat, 21 Agustus 2015

Cerpen; Maafkan Aku, Ayah


Maafkan Aku, Ayah



Namaku Romeo. Seorang penulis novel ambsius yang baru saja lulus dari duduk di bangku smp kelas 9 . Aku tinggal tepat berada persis di kehidupan keras jakarta. Orang tuaku adalah orang yang keras serta penuh dengan segudang aturan dan sangat pelit. Sejak kecil, senyum mereka yang menipuku membuatku merasa aman dan nyaman. Seiring pertumbuhanku, peraturan dan alasan sinting milik mereka membuatku gila.

“Ayah, bolehkah aku meminta Handphone baru? Itu.. yang touchscreen kayak punya teman-temanku itu” Tanyaku pada ayahku yang tengah membaca koran.

“Nggak boleh! Kita sekarang sedang berhemat, buat apa beli barang-barang tidak berguna seperti itu?!” Teriak ayahku sambil membanting koran yang dibacanya.


“Tapi yah.. soalnya temen..”

“Kita bukan orang kaya, nak! Pekerjaan ayah hanya buruh! Mana bisa ayah cari uang banyak buat beli ini.. itu!”

Aku langsung terdiam sesaat. Memang hari ini ibuku yang biasa menenagkan ayahku saat marah sedang pergi merawat nenek yang sakit. Aku langsung berlalu kecewa. “Bisa gak sih ga usah marah-marah gitu!” batinku dalam hati. Itu baru satu, sebenarnya masih banyak lagi.Pernah disaat aku ingin merayakan hari kelulusanku dengan melaksanakan kumpul-kumpul bareng teman se-angkatanku, namun dilarang orang tua ku karna alasan sudah larut malam. Tingga akulah satu-satunya anak dalam angkatan kelas sembilan yang tidak hadir dalam acara itu.

“Ini sudah malam! Ngapain keluar sekarang!”

“Itu udah rencana kelas, ayah!” Bantahku spontan

“Sudahlah yah... udah nak, sekarang tidur aja, dengerin kata ayah..” lerai ibuku.

Sesampainya di kamar aku langsung membanting pintu kamar, mengambil selembar kertas dan menulis secarik surat. Inilah awal kesuksesanku dimulai. Aku kabur lewat jendela dengan membawa beberapa perlengkapan serta jutaan rupiah yang sudah kutabung sejak dulu. Aku pergi entah kemana, ke luar dunia yang keras. Langkah yang pertama yang kuambil adalah mencari tempat tinggal. Aku memilih kos-kosan kumuh yang sangat murah. Lalu, dengan mengandalkan bakatku untuk menulis sebuah novel yang terbaik yang pernah ada.

Seminggu berlalu, akhirnya novel tebal karyaku sudah selesai. Dengan modal uang tabungan aku menghubungi penerbit buku karyaku sebelumnya. Mereka memanggilku ke kantor mereka.

“Selamat datang, silahkan duduk” sambut seorang  karyawan wanita penerbit bukuku.

“Terimakasih, Nama saya Romeo” jawabku terbata-bata, gugup.

“Baik, Nama saya Tyara, senang berkenalan dengan anda”

“Oh.. saya dipanggil ada apa ya?

“Saya adalah agen penerbit anda, oh ya! Selamat Romeo, novel anda diterima dan kami siap menerbitkan novel anda”

         "Iya?! YES! YES!” teriakku seperti orang gila. Semua perhatian tertuju padaku. Seorang satpam tergopoh-gopoh datang ke arah kami mengira ada kekacauan.

          Aku memasang harga ratusan pada buku novelku. Dan syukurlah, laku keras. Rupiah demi rupiah mengalir begitu saja ke dalam saku. Dengan giat dan konsisten aku menulis dan menerbitkan buku lagi. Akhirnya namaku semakin tenar dan tersohor di seruluh penjuru negeri. Banyak acara talkshow di televisi yang mengundangku. Aku memiliki rumah dan kembali melanjutkan pendidikanku dengan uangku sendiri. Aku seperti menjadi orang terkenal  karena sering tampil bersama artis-artis terkenal di layar kaca. Tak terbesit sedikitpun tentang kabar orangtuaku dalam benakku...

          Lima  tahun berlalu. Aku sudah menjadi penulis sekaligus musisi yang dikenal baik oleh masyarakat. Orang tua? Sudahlah, aku tak mau memikirkan mereka lagi. Aku sudah hidup di rumah mewah yang kutempati seorang diri bersama para pelayanku. Setiap hari yang aku lakukan hanya menulis dan mengerjakan tugas kuliahku. Sampai suatu hari datanglah seorang kakek-kakek ke rumahku. Security rumahku datang kepadaku untuk melaporkannya padaku.

          “Permisi tuan, ada seorang kakek-kakek mengaku ayah tuan”

          “Antar aku kepadanya!” kata ku spontan saja, kaget mendengarnya.

          “Baik tuan, silahkan ikuti saya”

          Aku berjalan menuju pagar dan menatap kakek yang melongo melihat rumah besar di hadapannya, dari jauh memang aku sudah mengenalinya. Aku memalingkan wajah dan berkata.

          “Aku tidak menginginkannya di hidupku, tolong usir dia dengan halus” jawabku sambil berjalan pergi. Kakek itu memanggil-manggil namaku yang tetap saja tak kuhiraukan.

          Kejadian itu berlalu. Hari demi hari berlalu membuatku melupakan pertemuanku dengan ayahku. Aku berencana pergi untuk me- refreshing pikiranku yang jenuh karena tugas kuliah. Aku berencana untuk pergi ke pemandian air panas VIP yang sudah dipesan oleh pelayanku.
          “silahkan tuan Romeo, mobil sudah siap” sambut peayanku didepan pintu.
          “Terimakasih Larry”jawbku dengan senyuman
.
          Mobil melaju pergi, namun dihadang oleh seorang kakek tua renta yang tidak lain adalah ayahku. Aku turun dari mobil dan segera menghardiknya.

          “Permisi, saya mencoba lewat di sini!”

          “Nak, aku hanya ingin bilang bahwa ibumu telah meninggal dua minggu yang lalu!” kata-kata yang membuat lengang suasana selama beberapa menit
.
          “Berikan aku alamat pemakaman ibuku!” jawabku memecah keheningan.

          “Baik, tapi aku ikut ber..”

          “Tidak!” potongku “Dia ibuku, orang yang sangat baik, berbeda denganmu yang jahat dan kejam!
          “Nak, aku ayahmu! Aku kasar karna aku menyaya..”

          “Bohong! Pak supir, kita kembali ke rumah!”

          Aku segera masuk ke dalam mobil. Mobil melaju dengan cepat. Supirku tidak melihat ada mobil lain melaju dari arah berlawanan. Kecelakaan tak dapat dihindarkan. Aku terplanting jauh dari mobil.kondisiku yang mengenaskan membuat banyak orang malah lari menjauh. Sebesit bayangan kabur kulihat tengah mengagkatku, setelah  itu aku langsung tak sadarkan diri...



          Aku terbangun dari koma selama tiga hari. Banyak orang mengerumuniku, dari keluarga ataupun bukan. Bahkan Tyara ada disampingku.
          “Apa yang terjadi?” tanyaku lemah

          “Kamu selamat nak” kata dokter disebelahku. “Jika saja ayahmu tak bersedia memberikan jantungnya padamu, mungkin saja kau takkan selamat 


          Aku terdiam sejenak. Aku menyesal telah membencimu,ayah. Kau rela mati demi anakmu yang selama ini durhaka padamu. Aku menyesal belum pernah membahagiakanmu sekalipun. Hanya karna egoku sejak kecil yang membuatku tak mengenalmu sebagai orang yang berjasa yang rela mengorbankan nyawanya demi anaknya. Maafkan aku, Ayah...  

fajri raihan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar